A. PENGERTIAN
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak
yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak
berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat
penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat
sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh
sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam
rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut
kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di
dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara
fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang
berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang
tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.
Sedangkan Child Abuse adalah semua
bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya
bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak
tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat,
dan guru.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan
terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis.
Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan
psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan
bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh
yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan
berkembang.
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik
secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Child abuse atau perlakuan yang salah
terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk terhadap anak
ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang seharusnya
memelihara, menjaga, dan merawat mereka.
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan
atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat anak yang mengakibatkan anak
menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan
anak secara umum.
Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and
Wolfare memberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik
atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18
tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.
B.
KLASIFIKASI CHILD ABUSE
Macam – macam Child Abuse :
1. Emotional
Abuse,
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak
anak, meneror, mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan
membuat anak merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak
bernilai. Hal ini akan menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan
emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik
dan perkembangan. Indikator perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap,
mengigit, atau memukul-mukul ).
2. Physical
Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena
kecelakaan atau tindakan yang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau
dapat juga diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga
mencederai anak. Biasanya berupa luka memar, luka bakar atau cedera di kepala
atau lengan.
Indikator fisik – luka memar, gigitan manusia, patah tulang,
rambut yang tercabut, cakaran. Indikator perilaku – waspada saat bertemu degan
orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada
orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.
3. Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai
bagi anak, seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian,
pengobatan, atau meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak
dapat merawatnya.
Indikator fisik–kelaparan, kebersihan diri yang rendah,
selalu mengantuk, kurangnya perhatian, masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.
4. Sexual
Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil
gambar pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak.
Indikator fisik , kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah
di baju dalam, nyeri atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area
genital / rektal, berpenyakit kelamin.
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau
sentuhan seksual yang tidak sesuai dengan usia, perubahan pada penampilan,
kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan
fisik, berperilaku permisif / berperilaku yang menggairahkan, penurunan
keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).
C.
ETIOLOGI
Menurut Helfer dan Kempe dalam
Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse, yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk
melukai anak-anak.
Orang tua yang memiliki kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada
orang lain, atau orang tua tidak memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka
memiliki harapan yang tidak sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua
terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah
yang saling berjauhan dari rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat
memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak
terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi pada anak yang tidak diinginkan atau
anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak dari
orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri,
serta anak dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR saat bayi
dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama, padahal pada beberapa
hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa
jadi tidak terlalu berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain.
Kejadian yag sering terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan,
adanya anak yang sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa
pengaruh yang lebih besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di
sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai
tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka child abuse dapat terjadi
pada semua tingkatan.
Menurut Rusel dan Margolin, wanita
lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena wanita merupakan pemberi
perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak melakukan sex
abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih besar untuk
melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikis,
diantaranya adalah:
1. Stress
yang berasal dari anak.
a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda
adalah kondisi fisik anak berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa
dilihat adalah anak mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan
berbeda dengan anak lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami
keterbelakangan mental sehingga anak mengalami masalah pada perkembangan dan
sulit berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah
cenderung mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang
memiliki temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki
temperamen keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak
bertemperamen lemah.
d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku
yang tidak sewajarnya dan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku
dan bertingkah aneh di dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan
perlakuan kasar disebabkan orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah
hati dari hasil perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan
emosional yang kuat antara anak angkat dan orang tua.
2. Stress
keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua
faktor ini merupakan faktor terkuat yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada
anak, sebab kedua faktor ini berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup.
Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan
hidupnya termasuk harus mengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan
tidak memadai, ketiga faktor ini juga berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan
pada anak, sebab lingkungan sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam
membentuk kepribadian dan tingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan
stress pada anak, sebab anak akan kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini
juga akan mengakibatkan munculnya perilaku kekerasan pada anak, sebab anak
tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan
fisik, lemah mental, dsb.
3. Stress
berasal dari orang tua,
a. Rendah diri, anak dengan rendah diri
akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak selalu merasa dirinya tidak
berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan
salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah pada masa kecil akan melakuakan
hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai bentuk pelampiasan atas
kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak
realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat orangtua mengalami stress
berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua
cenderung menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan
tindakan kekerasan.
D.
DAMPAK CHILD ABUSE
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan
bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam
beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah
frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai
kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada
pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain
itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh
kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya
menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian
hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang
berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk
membunuh ibunya.
1. Berikut ini adalah dampak-dampak
yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse), antara lain;
a. Dampak
kekerasan fisik,
anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat
agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya.
Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan
menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004)
menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan
perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik
yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera
serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan
korban meninggal dunia;
b. Dampak
kekerasan psikis.
Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi
diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism)
seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan,
anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki
dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar
diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata
seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang
tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya
rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik
diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri;
c. Dampak
kekerasan seksual.
Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam
terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat
eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah.
Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak
ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual
terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain
dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut,
perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik
seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
d. Dampak
penelantaran anak.
Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya
perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990)
mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan
berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan
selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
e. Dampak
yang lainnya (dalam
Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan
kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi
kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal
menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa
putus sekolah.
E.
MANIFESTASI KLINIS
Akibat pada fisik anak, antara lain:
Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan
retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam
lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan
saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak.
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya
lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
1. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya
kurang dari anak2 sebayanya yang tidak mendaapat perlakuan salah.
2. Perkembangan kejiwaan juga mengalami
gangguan, yaitu:
a) Kecerdasan
a. Berbagai penelitian melaporkan
terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan
motorik.
b. Retardasi mental dapat diakibatkan
trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
c. Pada beberapa kasus keterlambatan
ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.
b) Emosi
a. Terdapat gangguan emosi pada:
perkembangan kosnep diri yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat
agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan
untuk percaya diri.
b. Terjadi pseudomaturitas emosi.
Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang
lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif,
perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum,
dsb.
c) Konsep diri
a. Anak yang mendapat perlakuan salah
merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram, dan tidak
bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh
diri.
d) Agresif
a. Anak yang mendapat perlakuan salah
secara badani, lebih agresifterhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif
tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif
kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
e) Hubungan social
a. Pada anak sering kurang dapat
bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai
sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu
atau perbuatan2 kriminal lainnya.
f) Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
a. Tanda akibat trauma atau infeksi
lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus.
b. Tanda gangguan emosi, misalnya
konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah
laku.
c. Tingkah laku atau pengetahuan
seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat kelamin
dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.
F.
POHON
MASALAH
G. MEKANISME
KOPING.
Mekanisme
koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk
upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan
untuk melindungi diri. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk
melindungi diri antara lain :
1. Sublimasi
: Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk
suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi
:Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi
: Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
4. Reaksi
formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement
: Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
Perawat seringkali menjadi orang
yang pertamakali menemui adanya tanda adanya kekerasan pada anak (lihat
indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse
terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh gambarannya, bicaralah
dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak, kemudian menginterview anak.
1.
Identifikasi
orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau
saudaranya untuk beberapa waktu.
2.
Identifikasi
adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah
psikiatrik.
3.
Identifikasi
situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4.
Identifikasi
bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan tinggi (seperti
prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan, ketidakmampuan
perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian)
5.
Monitor
reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis
kelamin anak yang dilahirkan.
6.
Kaji
pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
7.
Kaji
respon psikologis pada trauma
8.
Kaji
keadekuatan dan adanya support system
9.
Situasi
Keluarga.
Fokus pengkajian secara keseluruhan
untuk menegakkan diagnosa keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara
lain:
1)
Psikososial
·
Melalaikan
diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau
·
Gagal
tumbuh dengan baik
·
Keterlambatan
perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan psikososial
·
With
drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa
2)
Muskuloskeletal
·
Fraktur
·
Dislokasi
·
Keseleo
(sprain)
3)
Genito
Urinaria
·
Infeksi
saluran kemih
·
Perdarahan
per vagina
·
Luka
pada vagina/penis
·
Nyeri
waktu miksi
·
Laserasi
pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.
4)
Integumen
·
Lesi
sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
·
Luka
bakar pada kulit, memar dan abrasi
·
Adanya
tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
·
Bengkak.
Evaluasi diagnostik
Diagnostik perlakuan salah dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang teliti,
dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.
a) Riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik
1) Penganiayaan fisik. Tanda
patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:
·
Luka
memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
·
Luka
bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam
air panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat
aliran listrik seperti oven atau setrika.
·
Trauma
kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan
fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.
·
Trauma
abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada
penganiayaan anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2
tahun.
2) Pengabaian
·
Pengabaian
non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan kegagalan
mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi
respons baik terhadap pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
·
Pengabaian
medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita
penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik.
Tidak mampu imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang disengaja
oleh orangtua juga mencakup kelalaian merawat kesehatan gigi dan mulut anak
sehingga.
3) Penganiayaan seksual. Tanda dan
gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
·
Nyeri
vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
·
Disuria
kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.
·
Pubertas
prematur pada wanita
·
Tingkah
laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya, binatang,
atau objek tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan umur anak
serta tingkah laku yang menggairahkan.
·
Tingkah
laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada orang
dewasa, mimpi buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri, depresi,
gangguan stres post-traumatik, prostitusi, gangguan makan, dsb.
b) Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining
perdarahan. Pada penganiayaan seksual, dilakukan pemeriksaan:
·
Swab
untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah penganiayaan
seksual.
·
Kultur
spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk genokokus
·
Tes
untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B
·
Analisa
rambut pubis
c) Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan
salah pada anak, yaitu untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,
Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun
sebaiknya dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun
hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan
pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan
adanya penyaniayaan fisik.
·
CT-scan
lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya
diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma
kepala yang berat.
·
MRI
(Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan kronik
seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
·
Ultrasonografi
digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
·
Pemeriksaan
kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan seksual.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
I.
Perilaku
kekerasan berhubungan dengan keluarga tidak harmonis ,harga diri rendah.
II.
Isolasi
social berhubungan dengan koping keluarga inefektif, keluarga yang tidak
harmonis.
III.
Koping keluarga inefektif berhubungan dengan
keluarga tidak harmonis.
IV.
Risiko
mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN
I.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri
rendah
Tujuan.
·
Klien
dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain.
Kriteria
hasil:
·
Klien
dapat membina hubungan saling percaya.
·
Klien
dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
·
Klien
dapat menilai kemampuan yang digunakan.
·
Klien
dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
·
Klien
dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
·
Klien
dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Intervensi :
1. Bina hubungan
saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
Rasional :
hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai
dasar untuk intervensi selanjutnya.
2. Diskusikan
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional :
mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3. Setiap bertemu
klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional :
pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
4. Utamakan
memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional :
meningkatkan harga diri klien.
5. Diskusikan
dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional :
mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6. Diskusikan
kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional :
mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7. Berikan pujian.
Rasional :
meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8. Minta klien
untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional :
agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang
dimiliki.
9. Bantu klien
melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional :
menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10. Beri pujian
atas keberhasilan klien.
Rasional :
meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11. Diskusikan
jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional :
mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12. Beri kesempatan
pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional :
tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon
koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13. Beri pujian
atas keberhasilan klien.
Rasional :
meningkatkan harga diri klien.
14. Diskusikan
kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional :
mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.
II.
Isolasi social berhubungan dengan perilaku
kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Tujuan
·
Klien dapat menerima interaksi social terhadap
individu lainya.
Kriteria hasil
·
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan
perawat.
·
Klien dapat berkomunikasi dengan baik atau jelas dan
terbuka.
·
Klien dapat menggunakan koping yang konstruktif.
·
Kecemasan klien telah berkurang.
Intervensi
1.
Psikoterapeutik.
a.
Bina
hubungan saling percaya
·
Buat
kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat dan waktu interaksi dan
tujuan.
·
Ajak
klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien, untuk menunjukkan penghargaan
yang tulus.
·
Jelaskan
kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien tidak akan diberitahukan
kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
·
Selalu
memperhatikan kebutuhan klien.
b.
Berkomunikasi
dengan klien secara jelas dan terbuka
·
Bicarakan
dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai istilah yang sederhana
·
Gunakan
komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas dan teratur.
·
Bersama
klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan perawat.
·
Tunjukkan
sikap empati dan beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaanya
c.
Kenal
dan dukung kelebihan klien
·
Tunjukkan
cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa digunakan klien, cara menceritakan
perasaanya kepada orang lain yang terdekat/dipercaya.
·
Bahas
bersama klien tentang koping yang konstruktif
·
Dukung
koping klien yang konstruktif
·
Anjurkan
klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.
d.
Bantu
klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal
·
Batasi
jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal terapi.
·
Lakukan
interaksi dengan klien sesering mungkin.
·
Temani
klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.
·
Libatkan
klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara bertahap, dimulai dari klien
dengan perawat, kemudian dengan dua perawat, kemudian ditambah dengan satu
klien dan seterusnya.
·
Libatkan
klien dalam aktivitas kelompok.
2. Pendidikan kesehatan
a. Jelaskan kepada klien cara
mengungkapkan perasaan selain dengan kata-kata seperti dengan menulis,
menangis, menggambar, berolah-raga, bermain musik, cara berhubungan dengan
orang lain : keuntungan berhubungan dengan orang lain.
b. Bicarakan dengan klien peristiwa
yang menyebabkan menarik diri.
c. Jelaskan dan anjurkan kepada
keluarga untuk tetap mengadakan hubungan dengan klien.
d. Anjurkan pada keluarga agar
mengikutsertakan klien dalam aktivitas dilingkungan masyarakat.
3. Kegiatan hidup sehari-hari
a. Bantu klien dalam melaksanakan
kebersihan diri sampai dapat melaksanakannya sendiri.
b. Bimbing klien berpakaian yang rapi
c. Batasi kesempatan untuk tidur
d. Sediakan sarana informasi dan
hiburan seperti : majalah, surat kabar, radio dan televisi.
e. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan
bersama-sama klien.
4. Lingkungan Terapeutik
a. Pindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan klien maupun orang lain dari ruangan.
b. Cegah agar klien tidak berada
didalam ruangan yang sendiri dalam jangka waktu yang lama.
c. Beri rangsangan sensori seperti :
suara musik, gambar hiasan di ruangan.
III.
Koping keluarga inefektif berhubungan dengan
keluarga tidak harmonis.
Tujuan
·
Koping
adatif dapat dilakukan dengan optimal.
Kriteria
hasil
·
Keluarga
dapat mengenal masalah dalam keluarga dan menyelesaikannya dengan tindakan yang
tepat.
Intervensi
1. Identifikasi dengan keluarga tentang
prilaku maladaptif .
Rasional :
Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima perasaannya sehingga
mempermudah pemberian asuhan kepada anak dengan benar.
2. Beri reinforcement positif atas
tindakan keluarga yang adaptif.
Rasional :
Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara baik dan benar tanpa
menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan yang buruk.
3. Diskusikan dengan keluarga tentang
tindakan yang semestinya terhadap anak.
Rasional :
Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya dapat dilaksanakan
keluarga terhadap anak.
4. Diskusikan dengan keluarga tentang
pentingnya peran orang tua sebagai status pendukung dalam proses tumbuh kembang
anak.
Rasional :
Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk meningkatkan peran sertanya
dalam pengasuhan dan proses tumbuh kembang anaknya.
5. Kolaborasi dalam pemberian
pendidikan keluarga terhadap orang tua.
Rasional
:Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga ( orang tua ),tentang
pentingnya peran orang tua dalam tumbuh kembang anak,memiliki pengetahuan
tentang metode pengasuhan yang baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima
anaknya dalam keadaan apapun.
IV.
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan
Tujuan.
·
Klien
tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.
Kriteria
hasil:
·
Klien
dapat membina hubungan saling percaya.
·
Klien
dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
·
Klien
dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
·
Klien
dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
·
Klien
dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
·
Klien
dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
·
Klien
dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
·
Klien
dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
·
Klien
dapat menggunakan obat yang benar.
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya. Salam
terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang
tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan
non verbal, bersikap empati.
Rasional :
Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar
untuk intervensi selanjutnya.
2. Beri kesempatan pada klien untuk
mengugkapkan perasaannya.
Rasional :
Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam
menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3. Bantu untuk mengungkapkan penyebab
perasaan jengkel / kesal
Rasional :
pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong
pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4. Anjurkan klien mengungkapkan dilema
dan dirasakan saat jengkel.
Rasional :
Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah
yang konstruktif pula.
5. Observasi tanda perilaku kekerasan
pada klien.
Rasional :
mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk
intervensi.
6. Simpulkan bersama tanda-tanda
jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional :
memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7. Anjurkan klien untuk mengungkapkan
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional :
memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8. Bantu klien bermain peran sesuai
dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional :
mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9. Bicarakan dengan klien apakah dengan
cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional :
membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
10. Bicarakan akibat / kerugian dan
perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional :
mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11. Bersama klien menyimpulkan akibat
dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional :
mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
12. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin
mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional :
menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
13. Berikan pujian jika klien mengetahui
cara yang sehat.
Rasional :
mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
14. Diskusikan dengan klien cara lain
yang sehat.
Secara
fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau pekerjaan
yang memerlukan tenaga.
Secara
verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
Secara
sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif,
latihan manajemen perilaku kekerasan.
Secara
spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar diberi
kesabaran.
Rasional :
dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
15. Bantu klien memilih cara yang paling
tepat untuk klien.
Rasional :
memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
16. Bantu klien mengidentifikasi manfaat
yang telah dipilih.
Rasional :
mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17. Bantu klien untuk menstimulasikan
cara tersebut.
Rasional :
mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18. Beri reinforcement positif atas
keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional :
meningkatkan harga diri klien.
19. Anjurkan klien untuk menggunakan
cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah.
Rasional :
mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20. Identifikasi kemampuan keluarga
dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien
selama ini.
Rasional :
memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
21. Jelaskan peran serta keluarga dalam
merawat klien.
Rasional :
menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku
klien.